Beranda
Informatif
News
Membaca Ulang Dinamika Perpecahan di Tengah Masyarakat
Aan Trias
Februari 27, 2025

Membaca Ulang Dinamika Perpecahan di Tengah Masyarakat

Ilustrasi_gambar_polarisasi_politik
Ilustrasi gambar polarisasi politik 

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah hail-to-the-thief kerap muncul di tengah ketegangan politik yang memanas. Istilah ini, yang awalnya populer sebagai sindiran terhadap kekuasaan yang diraih melalui manipulasi dan kecurangan, kini berkembang menjadi simbol ketidakpercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Fenomena ini berkaitan erat dengan menguatnya polarisasi politik, kondisi ketika masyarakat terbelah ke dalam dua kubu yang berseberangan secara ekstrem. Polarisasi yang semakin mengakar inilah yang menjadi tantangan serius bagi masa depan demokrasi Indonesia.


Memahami Polarisasi Politik dan Akar Masalahnya

Polarisasi politik bukan sekadar perbedaan pandangan atau preferensi politik yang wajar dalam demokrasi. Polarisasi yang ekstrem membuat masyarakat terjebak dalam logika "kami vs mereka", di mana lawan politik dianggap musuh yang harus dihancurkan. Bukan hanya argumentasi yang dipertaruhkan, tetapi juga identitas kelompok, loyalitas ideologis, hingga simbol-simbol keagamaan atau etnis.

Di Indonesia, polarisasi politik mulai menunjukkan wajahnya pascareformasi, ketika kebebasan berekspresi semakin terbuka lebar. Namun, lonjakan tajam polarisasi mulai terasa sejak pemilu 2014 dan makin parah pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Narasi politik identitas, agama, dan isu-isu primordial menjadi amunisi kampanye yang efektif memecah masyarakat ke dalam dua kubu yang saling mencurigai.


Peran Media Sosial sebagai Pemicu Polarisasi

Kemunculan media sosial mempercepat dan memperluas dampak polarisasi politik. Algoritma platform digital dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dengan minat pengguna. Akibatnya, masyarakat tanpa sadar terjebak dalam echo chamber, ruang gema informasi yang hanya memperkuat pandangan mereka sendiri.

Lebih parah lagi, media sosial juga menjadi lahan subur bagi hoaks, disinformasi, dan propaganda politik yang memanfaatkan sentimen emosional. Konten provokatif yang membenturkan identitas keagamaan atau etnis lebih cepat viral ketimbang diskusi berbasis data. Pola konsumsi informasi yang serba cepat ini membuat publik semakin malas melakukan verifikasi, sehingga informasi keliru terus direproduksi tanpa filter.

Ilustrasi polarisasi politik
Ilustrasi polarisasi politik 


Dampak Polarisasi Terhadap Kualitas Demokrasi

Polarisasi politik yang tidak terkendali membawa dampak serius terhadap kesehatan demokrasi. Demokrasi yang ideal membutuhkan ruang publik yang sehat, di mana diskusi berbasis data dan argumen rasional bisa tumbuh subur. Namun, dalam kondisi terpolarisasi, ruang diskusi diambil alih oleh narasi-narasi emosional yang membelah masyarakat.

Dalam konteks pemilu, polarisasi membuat para kandidat lebih cenderung menggunakan isu-isu populis yang menyulut emosi ketimbang menawarkan program-program berbasis data. Kualitas kebijakan publik pun terancam karena lebih mengutamakan kepentingan elektoral jangka pendek ketimbang solusi nyata untuk rakyat.


Polarisasi Merusak Relasi Sosial

Dampak polarisasi politik tidak berhenti di ranah publik, tetapi merembet hingga kehidupan pribadi. Perbedaan pilihan politik bisa memicu retaknya hubungan keluarga, renggangnya persahabatan, hingga memecah belah komunitas. Percakapan ringan tentang politik bisa berubah menjadi perdebatan panas yang sarat emosi. Akibatnya, banyak orang memilih diam atau menarik diri dari diskusi politik demi menghindari konflik.

Fenomena ini menciptakan segregasi sosial yang berbahaya. Masyarakat tidak lagi melihat lawan politik sebagai sesama warga negara yang berbeda pendapat, melainkan sebagai ancaman eksistensial. Sentimen "kami vs mereka" ini bahkan merusak rasa percaya di antara sesama warga.


Peran Elite Politik dan Media

Munculnya polarisasi politik yang akut tidak lepas dari peran elite politik dan media. Para politisi kerap memanfaatkan polarisasi demi keuntungan elektoral. Narasi provokatif yang mengadu domba masyarakat justru dijadikan strategi kampanye yang efektif. Padahal, seharusnya para elite menjadi teladan dalam membangun iklim politik yang sehat.

Media, sebagai pilar keempat demokrasi, juga memegang peran kunci. Sayangnya, sebagian media turut memperkuat polarisasi dengan menyajikan berita yang bias dan berpihak pada kelompok tertentu. Jurnalisme yang sehat seharusnya mengedepankan akurasi, keberimbangan, serta mendidik publik untuk berpikir kritis.


Literasi Digital: Kunci Meredam Polarisasi

Untuk mengurangi dampak buruk polarisasi politik, literasi digital harus ditingkatkan secara masif. Masyarakat perlu dibekali kemampuan menyaring informasi, memahami bias media, serta mengenali ciri-ciri hoaks dan propaganda. Literasi politik juga perlu dikuatkan, agar masyarakat memahami bahwa perbedaan pandangan adalah hal wajar dalam demokrasi.

Program literasi digital tidak cukup sebatas kampanye di media sosial, tetapi juga harus masuk ke kurikulum pendidikan formal. Generasi muda perlu diajarkan sejak dini tentang pentingnya verifikasi informasi, berpikir kritis, serta menghormati perbedaan pandangan.


Membangun Ruang Publik yang Sehat

Selain memperkuat literasi, membangun ruang dialog yang inklusif menjadi kebutuhan mendesak. Ruang-ruang diskusi yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat, lintas agama, suku, dan golongan harus diperbanyak. Diskusi yang berangkat dari isu-isu keseharian, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, bisa menjadi jembatan untuk meruntuhkan sekat-sekat polarisasi.

Elite politik juga harus mengubah cara berkomunikasi dengan publik. Ketimbang mengedepankan retorika populis yang memecah belah, lebih baik menawarkan narasi berbasis data dan solusi konkret bagi rakyat. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap politik bisa perlahan dipulihkan.


Kesimpulan: Merawat Demokrasi di Tengah Perbedaan

Polarisasi politik adalah ancaman nyata bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Jika terus dibiarkan, fenomena ini tidak hanya merusak kohesi sosial, tetapi juga mengancam stabilitas politik jangka panjang. Menjaga demokrasi bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab seluruh elemen bangsa, mulai dari media, akademisi, masyarakat sipil, hingga individu di tingkat akar rumput.

Kita boleh berbeda pilihan politik, tetapi kita tidak boleh kehilangan akal sehat dan nilai kemanusiaan. Perbedaan harus dirayakan, bukan dijadikan alasan saling membenci. Dengan memperkuat literasi digital, membangun ruang diskusi yang sehat, serta mendorong keteladanan elite politik, kita bisa keluar dari jebakan polarisasi dan merajut kembali persatuan dalam keberagaman.

Penulis blog

Aan Trias
Aan Trias
Bermanfaat untuk yang lainnya

Tidak ada komentar

Komentar dengan sopan, baik dan benar. Terimakasih.